Seruput Kopi Cantik
Yenny Indra
Mediator – Bahasa Tertulis & Lisan. Efektif Mana?
Sekian tahun lalu pernah mengikuti bedah buku B. Vita Wardoyo, teman baik di Aspirasi (Asosiasi Penulis dan Inspirator Indonesia) mau pun Edy Zakheus (EZ) Writing Community, di mana kami sama-sama menjadi anggotanya, ada 1 pesan yang menancap di kepala saya dan tak terlupakan:
Jangan screenshot chat lalu send.
Banyak permasalahan di kantor, dalam pertemanan dan berbagai hal lainnya, terjadi kesalahan pahaman karena screenshot & send.
Banyak orang yang malas berpikir, cari gampangnya, kalimat atasan di screenshot lalu send ke orang yang dimaksud. Ada yang beralasan takut salah ngomong.
Sementara yang diharapkan, disampaikan melalui kita, supaya kita menjadi orang tengah – mediator, yang bisa menjembatani ke atas dan ke bawah dengan cara yang luwes. Meski bukan itu jabatan resmi kita, tetapi sesungguhnya di berbagai aspek kehidupan, sadar atau tidak, kita kerap menjadi mediator. Perbedaan pendapat antara pasangan & anak, atasan & bawahan, antar teman yang sedang berselisih. Mereka curhat karena berharap kita bisa memberikan solusi, atau menjadi mediator yang bisa mendamaikan mereka.
‘Mediator’ handal, meski gak resmi, akan segera naik posisinya dalam organisasi, dan bisnisnya pasti maju. Kesuksesan hidup ditentukan oleh kemampuan kita berkomunikasi dan menyelesaikan permasalahan. Seorang mediator, yang bisa diterima semua pihak, disukai banyak orang, memuluskan kesepakatan, maka dengan mudah membuat tujuannya tercapai.
“Beritahu Ani, lakukan A, B, C. Jangan mengulangi D… Fatal itu.”, tertulis dalam chat boss ke kita.
Kebanyakan, sebelumnya chat, sudah didahului oleh pembicaraan lisan. Boss sudah bertemu dulu, telpon atau setidaknya sudah chat panjang lebar dengan kita yang terima chat, sehingga antara boss dengan kita, sudah ada pemahaman pendahuluan mengapa D itu dilarang. Sudah sama-sama ngerti karena sudah ada previewnya.
Nach ketika chat dari boss langsung kita screenshot dan dikirim, yang dikirim hanya chat terakhir yang tentang Ani. Chat itu ditulis hanya pointnya saja, karena tulisan kan gak mungkin dijelaskan panjang lebar, maka ditulis dengan kata-kata yang lugas dan singkat. Padahal dengan kita boss sudah bercerita alasan mengapa melakukan D itu kesalahan fatal. Kita sudah paham latar belakangnya.
Ketika chat itu di screenshot lalu di send, si Ani kan belum mendengar previewnya. Gak ada gambaran apa pun. Yang dibaca bahasa yang lugas pula. Bisa diartikan berbeda. Di sinilah ketersinggungan dan kesalahpahaman biasa terjadi.
Berbeda saat kita bertemu muka. Ada senyuman, bahasa tubuh yang bisa mewakili dan menjadi background saat kata-kata diucapkan.
Ketika kurang jelas, dalam pertemuan langsung, lebih luwes untuk menjelaskannya. Bisa dengan sedikit candaan, basa-basi, yang membuat suasana cair.
Bukan masalah benar atau salah.
Namun setiap orang bisa mengartikannya secara berbeda.
Why?
Setiap orang punya latar belakang, kebiasaan dan nilai-nilai yang berbeda. Unggah-ungguh, tata kramanya berlainan.
Saya yang dibesarkan di Jawa Tengah, lama tinggal di Jogja & Solo, ketika pertama kali pindah ke Jawa Timur pun, cukup terkaget-kaget, perlu menyesuaikan diri. Belum lagi saat pindah ke Jakarta & Tangerang. Berbeda lagi.
Kata-kata yang sama, bisa berbeda artinya. Atau sesuatu yang sama maksudnya, tetapi istilahnya bisa berbeda.
Bahkan saat mengurus ijin usaha di Bali, kami terheran-heran, koq berbeda dengan di Jawa. Kan sama-sama di Negara Indonesia.
“Ini Bali Pak, tidak bisa disamakan dengan di Jawa,” ujar sang petugas dengan tegas.
Di tempat yang berbeda, aturan, budaya dan kebiasaannya berbeda.
Ada plus minus antara bahasa lisan dan tertulis. Masing-masing punya kelebihan dan kekurangan.
William Ury, penulis buku terkenal “Getting To Yes” dan “The Power Of Positive No”, yang ditulisnya bersama Roger Fisher, mengungkapkan,:
Inti dari konflik seringkali adalah konflik kepentingan. Sebagai Mediator, kita dapat membantu mendamaikan kepentingan para pihak. Mediator tidak berusaha menentukan siapa yang benar dan siapa yang salah, melainkan berusaha sampai ke inti sengketa dan membantu para pihak menyelesaikannya.
Kita mungkin tidak menganggapnya sebagai mediasi, tetapi itulah yang kita lakukan setiap kali kita mendengarkan dengan penuh perhatian orang-orang yang berselisih. Saat kita bertanya kepada mereka tentang apa yang sebenarnya mereka inginkan, kita punya peluang, menyarankan kemungkinan pendekatan, dan mengajak mereka untuk berpikir serius, berapa biaya yang harus ditanggung dan berapa jumlah kerugiannya, jika tidak mencapai kesepakatan.
“Salah satu fungsi utama Mediator adalah membantu masing-masing pihak memahami apa yang sebenarnya dikatakan atau diminta pihak lain,” ujarnya,
“Langkah selanjutnya adalah membantu para pihak menghasilkan opsi kreatif untuk kesepakatan. Idealnya, solusi memang datang dari para pihak itu sendiri. Namun terkadang, Mediator dapat memajukan proses dengan mengusulkan solusi untuk dipertimbangkan oleh para pihak. Karena banyak orang cenderung tidak mempercayai ide-ide yang ditawarkan oleh pihak lain, pilihan yang disarankan oleh Mediator mungkin terbukti lebih mudah diterima oleh kedua belah pihak.
Tujuan akhirnya adalah kesepakatan yang saling memuaskan.”
Pengalaman William Ury bukan sekedar mendamaikan kepentingan orang-orang biasa, namun kalibernya, antar negara.
Selama empat dekade terakhir, Ury telah menjabat sebagai penasihat negosiasi dan mediator dalam berbagai konflik mulai dari Perang Dingin hingga perang etnis dan sipil di Timur Tengah, Chechnya, Yugoslavia, dan terakhir di Kolombia, di mana ia menjabat sebagai penasihat senior untuk Presiden Juan Manuel Santos.
Hidup itu bukan matematika, yang serba eksak, harus A atau harus B. Segala sesuatu itu bisa dibicarakan dan dicarikan jalan keluar.
Steven Covey mengajarkan, win-win solution itu cukup baik.
Win-Win solution artinya jika Ani sedang berunding dengan Budi, Ani misal dapat 50% keinginannya, sementara Budi juga dapat 50% keinginannya.
Sepakat. Itu namanya Win-Win Solution.
Bagi kebanyakan orang, win-win sudah okelah.
Pokoknya terjadi kesepakatan, 50% terpenuhi, sementara 50% sisanya, baik keinginan Ani mau pun Budi, tidak terpenuhi.
Dalam bukunya “The 8th Habit”, Steven Covey mengajarkan hal yang berbeda.
Konon Suku Indian punya kebiasaan unik saat ingin mengambil kesepakatan. Karena mempelajari kebiasaan Suku Indian inilah, muncul ide Steven Covey menulis buku The 8th Habit, mengajarkan kita menemukan ‘Alternatif ketiga.’
Penerapannya begini:
Ani terlebih dahulu mengungkapkan apa saja yang ada dihatinya. Keinginannya, rencananya, harapannya, apa saja yang ada di hatinya….. Selama Ani berbicara, Budi hanya boleh mendengarkan.
Kemudian gantian Budi yang berbicara. Sama seperti Ani, dilarang menyela. Pokoknya isi hati diungkapkan hingga tuntas.
Ternyata, ketika ke dua belah pihak sudah sama-sama mengerti, dan saling memahami, kerapkali bisa ditemukan Alternatif ketiga yang berbeda, ide baru, yang bisa menjawab 100% keinginan Ani dan 100% keinginan Budi.
Kalau pun tidak mencapai 100%, setidaknya keduanya bisa mendapatkan jauh lebih banyak daripada sekedar 50%.
Tentunya hal itu jauh lebih baik hasilnya daripada sekedar Win-Win solution, yang merupakan kesepakatan Menang & Kalah.
Sementara Alternatif Ketiga dicapai dengan semangat untuk semaksimal mungkin bisa memenuhi harapan diri sendiri dan pihak lawan.
Lalu, lebih baik disampaikan tertulis atau lisan?
Tergantung situasi dan kondisinya. Mixed lebih baik.
Suatu ketika, saya mencoba menjelaskan sesuatu secara lisan pada seseorang, tetapi kesulitan… Karena dalam pembicaraan lisan, saya belum selesai mengungkapkan apa yang saya maksud, orang itu juga ingin menyampaikan pandangan dari sisinya. Masing-masing punya latar belakang dan alasan yang masuk akal, mengapa bertindak demikian.
Dengan tulisan, saya bisa mengungkapkan apa yang saya maksudkan dengan lebih runut, teratur dan jelas. Lengkap dengan didukung oleh pendapat William Ury dan Streven Covey dll.
Inilah contoh kekuatan dan kelemahan bahasa tertulis dan bahasa lisan.
Pilih mana?
“The meaning of your communication is the response that you get – Prasetya M. Brata.
Keberhasilan komunikasi Anda, dimaknai oleh respon yang Anda dapatkan” – Prasetya M. Brata.
Minta hikmat Tuhan…. Mediasi yang berhasil karena anugerah dan pertolongan Tuhan.
The chief virtue that language can have is clarity.— Hippocrates
Tujuan utama digunakannya bahasa adalah tercapainya kejelasan – Hippocrates
YennyIndra
TANGKI AIR ANTI VIRUS & PIPA PVC
MPOIN PLUS & PIPAKU
PRODUK TERBAIK-
PEDULI KESEHATAN